Selasa, 20 Desember 2011

gerakan feminisme


MEMAHAMI GERAKAN FEMINISME


Pada umumnya orang mengartikan feminisme sebagai gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya untuk melawan pranata sosial yang ada, misalnya saja institusi rumah tangga, perkawinan maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari apa yng disebut kodrat. Dengan kesalahpahaman seperti itu maka tidak saja kurang mendapat hati di kalangan perempuan namun juga ditolak oleh masyarakat. Meski gerakan feminisme datang dengan analisis dan dari ideologi yang berbeda-beda, umunya mereka mempunyai kesamaan kepedulian, yakni memperjuangkan nasib kaum perempuan.
Ada beberapa aliran feminisme yang berkembang, antara lain :
1.      Feminisme Liberal
Aliran ini beranggapani bahwa ketidak setaraan laki-laki dan perempuan berakar pada perbedaan rasionalitas. Karena kemampuan rasionalitas perempuan dianggap lemah dari pada kemampuan laki-laki, sehingga perempuan menjadi tertindas di berbagai lapangan kehidupan. Hal ini disebabkan karena adnya perbedaan yang mencolok terutama di bidang pendidikan atau SDM antara laki-laki dan perempuan.

2.      Feminisme Radikal
Aliran ini beranggapan bahwa penindasan yang dialami oleh para perempuan bisa berasal dari adanya sistem budaya patiarkhi dimana laki-laki memiliki kekuasaan yang besar diandingkan perempuan.


3.      Feminisme Marxis
Aliran ini beranggapan bahwa penindasan yang dialami oleh para perempuan bisa bersumber dan merupakan bagian eksploitasi dalam cara produksi. Maksudnya disini adalah, karena laki-laki lebih menguasai alat produksi untuk pertukaran dan mereka juga lebih mendominasi hubungan sosial dan perempuan hanya direduksi menjadi bagian dari kekayaan atau modal.

4.      Feminisme Sosialis
Aliran ini beranggapan bahwa penindasan perempuan tidak hanya terjadi pada tatanan pertentangan kelas, melainkan juga adanya sistem patriarkhi. Aliran ini juga bertujuan untuk membantu kesadaran kelas dan meningkatkan kwalitas dan kwantitas keterlibatan kaum perempuan dalam hal pengambilan keputusan. Perempuan tidak hanya disuruh untuk mengurus rumah tangga saja tapi juga bisa terlibat di bidang luar ekerjaan mereka sehari-hari sebagai ibu rumah tangga.

·      Hegemoni Maskulinitas dan Arah Gerakan Feminisme
Feminisme sebagai gerakan pada pada dasarnya berawal dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Namun mereka juga sepedapat bahwa hakikat perjuangan feminisme adalah demi kesamaan, martabat, dan kebebasan mengontrol raga dan kehidupan baik di dalam maupun di luar rumah. Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan maupun laki-laki.
Namun pada kenyataan banyak sekali kaum perempuan dan bahkan aktivis feminisme yang menganut ideologi maskulinitas. Maskulinitas berhasil merealisasi diri dalam berbagai aspek kehidupan, seperti development, militerisme, ilmu-ilmu positivisme dan reduksionisme serta berbagai ideologi kekerasan lainya. Menurut Siva (1989) hasil dari merajalelanya prinsip maskulinitas adalah kekerasan terhadap kaum miskin dan perempuan, penghancuran terhadap sistem pengetahuan lainnya yang non rasionalisme.

·      Anatomi Gerakan Kaum Perempuan
Meskipun agenda feminisme secara umum adalah dalam rangka mengakhiri peindasan kaum perempuan, namun ada juga gejala umum melanda kaum feminis sendiri, yaitu maskulinitas. Kaum perempuan harus dididik agar mampu bersaing dalam gelanggang merebut kesempatan untuk memasuki prinsip-prinsip maskulinitas. Paham seperti ini nampaknya kini justru mendominasi pemikiran perempuan khusunya di dunia ketiga atau di jaman yang sudah maju saat ini. Misalnya saja paham modernisasi yang menganggap perempuan sebagai masalah bagi perkembangan ekonomi modern atau partisipasi politik, karena sikap irrasional mreka berpegang teguh pada tradisi, adalah pandangan yang berawal dari feminisme liberal.
Sementara itu kaum radikal yang muncul sebagai reaksi atas seksisme di barat tahun 60an, justru sebaliknya. Bagi  mereka penindasan perempuan berawal dari kaum laki-laki. Penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki itu adalah bentuk dasar penindasan dan patriarki adalah sistem hirarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi. Jadi mereka sebenarnya ahistoris, karena menganggap patriarki universal dan awal dari segala penindasan.
Jadi sesungguhnya penindasan perempuan bersifat struktural dan penyelesaiannya pun hanya terjadi apabila ada perubahan struktur kelas, yaitu dengan cara memutuskan hubungan dengan sistem kapitalis internasional. Menurut Egels sendiri revolusi bukanlah jaminan untuk perempuan mencapai keadilan sejati, karena karena tetap saja perempuan mempunyai tanggung jawab domestik.
Jadi emansipasi wanita bisa terwujud jika perempuan terlibat dalam produksi dan tidak lagi mengurus rumah tangga dan proses itu dapat diwujudkan melalui industrialisasi. Menurut Marxis Klasik, terjadinya perubahan status perempuan hanya dapat melalui revolusi sosialisasi, dengan cara menghapuskan pekerjaan domestik/rumah tangga. Jelas sekali dalam hal ini mereka meremehkan feminitas dan mengagungkan maskulinitas.

·      Arah Gerakan Feminisme
Gerakan feminisme muncul di Amerika sebagai bagian dari kultur radikal termasuk gerakan hak-hak sipil dan kebebasan seksual. Lantas gerakan itu merambat sampai ke Eropa, Kanada, dan Australia yang selanjutnya kini telah menjadi gerakan global dan menggoncang dunia ketiga.
Secara kuantitatif, dampak feminisme memang nyata dimana dalam waktu 20 tahun banyak terjadi perubahan dan perkembangan yang menyangkut nasib kaum perempuan. Namun saat ini hampir setiap negara memiliki perundang-undangan antidiskriminasi, yang menguntungkan kaum perempuan terutama bagi perempuan kelas menengah dan yang berpendidikan.
Namun ternyata perubahan sacara kuantitatif belum mampu merubah posisis kaum perempuan secara kualitatif. Perubahan besar dalam bidang hukum, seperti disetujuinya undang-undang anti-diskriminasi terhadap perempuan, ternyata tidak memberi pengaruh atau memberi perubahan pandangan masyarakat terhadap posisi kaum perempuan. Semakin terbukanya kesempatan kaum peremouan untuk memasuki berbagai aspek kehidupan dan pekerjaan, ternyata juga belum mampu merubah posisi kaum perempuan di masyarakat.
Gerakan feminisme perlu melanjutkan perjuangan ideologis dan kulturalnya dengan melakukan identifikasi dalam rangka menemukan watak ideologi maskulinitas.dengan kata lain gerakan feminisme harus mekukan 2 hal sekaligus, yaitu melakukan analisis konjungtur perkiraan jangka pendek dan juga menentukan agenga jangka panjang berupaperjuangan politik dan kultural untuk kepentingan. Ada beberapa sumber perlawanan yang dapat diindetifikasi, diantaranya adalah:
Perlawanan arus balik yang berasal dari kaum perempuan itu sendiri. Misalnya saja ada komentar di berbagai media massa, bahwa feminisme adalah gagasan barat yan dipaksakan. Serangan kedua berasal dari anak maskulinitas yang bernama developmentalism serta implikasinya. Developmentalism bagaikan agama baru, karena ia juga dianggap menjanjikan harapan baru untuk memecahkan persoalan berjuta-juta rakyat di dunia ketiga.

·      LSM Perempuan di Indonesia: Konsep dan Sikap
Definisi feminisme sejak awal sebenarnya sudah mengandung logika menggugat nilai-nilai gender. Meskipun konsep gender baru ditemukan oleh para antropolog pada tahun 190an di Amerika Serikat, namun sebenarnya logika dikontruksi sudah dipakai di kalangan feminisme sejak abad ke 18.
Pemahan untuk menggugat ideologi gender ini disebut sebagai analisis gender. Konsep tersebut memperkaya gerakan perspektif gerakan feminisme. Dan analisis pegerakan gender perlu diwujudkan dalam gerakan perempuan.
Dari penjabaran diatas dapat diikuti dasar pemikiran yang dijadikan acuan oleh gerakan LSM perempuan untuk melihat hubungan dan perbedaan konsep dan perbedaan konsep gender dan feminisme. Akar permasalahan dalm pendekatan GAD terletak pada subordinasi perempuan yang tidak hanya disebabkan oleh laki-laki, tetapi juga karena masih adanya pola-pola tekanan dalam masyarakat akibat kolonialisme, dan sisa-sisanya yang belum terhapus dalam wujud neo-kolonialisme. Akar teori dari model GAD adalah feminisme sosialis yang melihat sektor produksi dan reproduksi sebagai basis penindasan perempuan. Artinya pembebasan perempuan tidak hanya pada sektor reproduksi (domestik), tetapi juga pada bidang-bidang produkif (publik).
GAD (Gender and Development) memandang pentingnya partisipasi negara dalam menunjang emansipasi perempuan dan negara memiliki tugas untuk menyediakan jasa sosial yang selama ini disediakan oleh perempuan secara individual seperti peralatan anak dan kesehatan. Dengan demikian pendekatan tersebut memperbaiki pendekatan sebelumnya dengan mengakui pentingnya analisis kelas, ras, gender, dan pembangunan, sebagai masalah yang harus menjadi pusat perhatian. Ini berarti mode GAD tidak hanya memperhatikan perempuan, tetapi pada kontruksi sosial gender dan pemberian peran tertentu pada perempuan dan laki-laki. Lebih jauh model ini melihat perempuan lebih sebagai agen perubahan dari perubahan sosial dan bukan hanya sebagai penerima bantuan pembangunan yang pasif. Dengan cara ini dapat dicari penyelesaian masalah bersama melalui metode-metode yang demokratif, bukan sekedar penyuluhan-penyuluhan yang bersifat top down. Transformasi sosial semacam ini hanyya bisa terjadi lewat pembentukan solidaritas perempuan yang terorganisir.
Untuk menguatkan pernyataan ini telah dilakukan wawancara sebuah LSM perempuan di Yogyakarta yang dipandang representatif dengan kondisi gerakan LSM perempuan di daerah ini yang masih sedikit jumlahnya. Perbandingan ini mungkin masih kurang memadai untuk menggambarkan pergerakan perempuan dalam kubu ini yang menggeluti isu-isu perempuan yang beraneka ragam. LSM-LSM perempuan di Yogyakarta kebanyakan mengutamakan kesejahteraan perempuan. Karena di Yogyakarta kesejahteraan wanita dirasa masih kurang optimal, ini dikarenakan masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikann dan ditindas. Salah satu LSM yang bergerak di bidang itu adalah YASANTI. Pada saat itu mereka concern terhadap isu-isu perempuan miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan. Mulailah mereka membuat program-program unruk mengkaji serta membangun jaringan pemerhati masalah perempuan. Jadi gerakan perempuan ini banyak dimotori oleh aktivis perempuan dan LSM yang sebelumnya berangkat dari keprihatinan akan masalah-masalah perempuanpada kubu geraka LSM perempuan. Apabila kita merujuk pada program sebuah LSM perempuan, Yasanti , maka dapat diketahui empat pilihan program yang mnjadi concern Yasanti, yaitu: kegiatan di sektor industri, sektor informal, sektor niaga, dan kegiatan remaja putus sekolah.
Berdasakan wawancara, pendekatan yang digunkan bisa saja terdiri dari 4 pendekatan WID. Misalkan, kelompok sektor informal sedang menghadapi masalah kemiskinan dan keterbelakangan, maka diberikan training tentang persoalan ekonomi, misalnya kesulitan memperoleh modal usaha. Selain itu diajarkan juga manajemen menjalankan sebuah usaha sampai membuat pembukuannya. Pemberian bekal keterampilan juga dilakukan sebab dalam masyarakat miskin seperti di Indonesia semua program memang mutlak dibutuhkan. Dengan adanya metode-metode penyadaran gender dan kemampuan mengorganisasi aspirasi perempuan, maka terciptalah kaum perempuan yang lebih mengenal siapa diri mereka sendiri mereka sebenarnya dan bukan terjerat pada pengidealan peran mereka yang dituntut oleh masyarakat. Hasilnya para perempuan tidak lagi terjerat dengan stereotip gender.

·      Pandangan Terhadap Gerakan LSM Perempuan di Indonesia
Ada asumsi bahwa gerakan perempuan ini ingin mencapai keadilan bagi unat manusia tanpa adanya diskriminasi terhadap laki-laki, maka berrti tidak ada bedanya dengan gerakan sosial politik lainnya yang tujuan akhirnya adalah nilai-nilai humanisme universal. Sebenarnya sumber permasalahan rupanya terletak pada kurangnya pemahaman perbedaan konsep feminisme dan genderitu sendiri sehingga penilaian terhadap gerakan perempuan itu manjadi salah kaprah. Konsep gender sebenarnya memiiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh pendekatan dan teori sosial lainnya, yaitu bagaimana kenyataan ini dilihat dari kacamata perempuan. Hingga saat ini proses penyadaran gender masih dipelopori oleh gerakan perempuan, padahal perlu juga melibatkan laki-laki sehingga beban perempuan tidak terlalu berat. Oleh karena itu seorang feminist belum tentu seorang perempuan, tetapi bisa juga seorang laki-laki.
Misal saja pada sektor rumah tangga, ditemukan beberapa kasus adanya para suami yang tidak setuju dengan perubahan kesadaran tersebut karena istri jadi tidak mudah diatur lagi. Sebaliknya, ada kasus lain yang menunjukan bahwa suami  mereka merasa terbantu dengan adanya peningkatan usaha mata pencaharian istri. Ada semacam keengganan kaum perempuan untuk menerima pemikiran feminist. Karena ada yang ingin melihat terlebih dahulu apakah gerakan perempuan ini porspektif atau tidak, mau ke arah mana pembebasan perempuan ini, dan menguntungkan atau tidak bagi mereka sendiri. Di Indonesia sendiri perempuan ideal  masih diperangkap dalam pengkotak-kotakan stereotipe gender. Oleh karena itu, pencarian bentuk gerakan perempuan ini haru dijalani bersama-sama dengan usaha meningkatkan harkat dan martabat perempuan itu sendiri. Mungkin perempuan yang dihormati hak-haknya itulah perempuan ideal Indonesia.
 Kubu yang satu menekankan apa yang ideal bagi seorang ibu, sementara kubu yang lain berangkat dari apa yang menjadi permasalahan perempuan Indonesia saat ini. Bagi Dharma Wanita peningkatan martabat didasarkan sejauh mana produktivitas mereka sebagai ibu rumah tangga, sementara bagu gerakan perempuan pada bargaining position perempuan. Mengingat bargaining position perempuan tidak selalu pararel dengan peningkatan produktivitas kaum perempuan, maka perlu adanya perjuangan perempuan agar negara mau mendengarkan apirasi kaum perempuan. Bargaining position perempuan berbeda dengan asumsi banyak orang yang menganggap bahwa gerakan feminist ini semata-mata mu memodernkan perempuan, mengijinkan praktek free-sex. Justru sebaliknya, Dharma Wanita lah yang melakukan modernisasi  perempuan. Program-program mereka berorientasi pada idealisasi ibu yang disemangati oleh nilai-nilai yang membangun bagi pembangunan negara patriarkhis.
Dalam pendekatan GAD, diharapkan negara dapat berpartisipasi dalam menunjang emansipasi perempuan. Sebaliknya, menurut WID, negara adalah pihak yang justru menuntut partisipsi perempuan dalam pembangunan. Pemilihan model WID tentunya bukanlah suatu kebetulan karena model WID memilki konsekuensi poloitis di sektor perempuan yang dipandang akan mengganggu status kuo tatanan negara patriarkhis. Menurut model GAD status perempuan akan berubah apabila terjadi pemberdayaan pada kaum perempuan sehingga memungkinkan mereka memiliki posisi tawar-menawar terhadap struktur yang mendominasi.
Dengan latarbelakang ini, dapat dipahami alasan politis dibalik kebijakan pemerintah untuk  membatasi gerakan feminisme. Tidak diterima gerakan perempuan di Indonesia lebih merupakan alasan politi,di samping adanya kekhawatiran masyarakat yang masih salah paham tentang gerakan terentu.
Akhir-akhir ini pemerintah mengeluarkan ketentuan tentang pendirian LSM dan adanya butir-butir yang menyebutkan LSM yang bersangkutan harus menunjukan program-program yang akan dibuat bersama lembaga dana. Tidak jarang juga pemerintah menjadika LSM sebagai ajang kontrol terhadap stabilitas keamanan  dalam produksi dan kegiatan ekonomi rakyat. Kondisi sepeti ini menyulitkan gerak LSM untuk menjadi wadah-wadah alternatif bagi aspirasi perempuan. Hal itu juga memperlamban gerrak LSM karena penuh proses perijinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar