Kamis, 22 Desember 2011

kumpulan teori sosiologi



AUGUSTE COMTE

A.    Biografi August Comte
August comte memiliki nama panjang Isidore Marie Auguste François Xavier Comte, lahir pada tanggal 19 januari 1798 di kota Montpeller di baagian selatan Prancis. Beliau adalah filsuf dan ilmuan sosial terkemuka yang sangat berjasa dalam perkembangan ilmu kemasyarakatan atau sosiologi.
Comte sebagai mahasiswa di ecole Politechnique Paris. Ecole Politechnique saat itu terkenal dengan kesetiaannya kepada idealis republikanisme dan filosofi proses. Pada tahun 1818, politeknik ttersebut ditutup untuk re-organisasi. Comte pun mmeninggalkan Ecole dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran di Montpellier. Tak lama kemudian, ia melihat sebuah perbedaan yang mencolok antara agama katolik yang ia anut dengan pemikiran keluarga monarki yang berkuasa sehingga ia terpaksa meninggalkan Paris. Kemudian pada bulan Agustus 1817 dia menjadi murid sekaligus sekertaris dari Claude Henri de Rouvroy, Comte de Saint-Simon, yang kemudian membawa Comte masuk ke dalam lingkungan intelek.  Namun pada tahun 1824, Comte meninggalkan Saint-Simon karena lagi-lagi ia merasa ada ketidakcocokan dalam hubungannya.
Pada tahun 1842, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Le Cours de Philosophie Positivistic. Pemikiran brilian Comte mulai menjadi suatu aliran pemikiran yang baru dalam karya-karya filsafat yang tumbuh lebih dahulu. Dengan penuh kesadaran bahwa akal budi manusia terbatas, comte mencoba mengatasi dengan membentuk ilmu pengetahuan yang berasumsi dasar pada persepsi dan penyelidikan ilmiah. Tiga hal ini dapat menjadi ciri pengetahuan seperti apa yang sedang Comte bangun, yaitu : 1. Membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan, 2. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang menguasai mereka, dan 3. Memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-hukum  itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat. Keyakinan Comte dalam pengembangan yang dinamakan positivisme semakin besar, positivisme sendiri adalah faham filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metode ilmu pengetahuan. Disini comte mengungkapkan perkembangan kehidupan manusia dengan menciptakan sejarah baru, merubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh dan berkembang pada masa sebelumnya. Comte mencoba dengan keahlian berfikirnya untuk mendekonstruksi pemikiran yang sifatnya abstrak (teologis) maupun pemikiran yang pada penjelasan-penjelasannya spekulatif (metafisika).
Comte dengan konsistensinya mensosialisasikan agama humanitas-nya dan hukum tiga tahap yang memaparkan perkembangan kebudayaan manusia hingga akhir hayatnya, Comte meninggal di Paris pada tanggal 5 September 1857.

B.     Lahirnya Positivisme
Menurut buku Realitas Sosial yang ditulis K. J Veeger halaman 17, positivisme adalah paham filsafat yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai ilmu pengetahuan (science, sains). Positivisme merupakan ajaran bahwa hanya fakta atau hal yang dapat ditinjau dan diuji melandasi pengetahuan sah.
Positivisme lahir sebagai reaksi terhadap zaman pencerahan. Dalam buku Teori Sosiologi Karya George Ritzer dan Douglas J. Goodman disebutkan, pengaruh Pencerahan pada teori sosiologi lebih bersifat tidak langsung dan negatif ketimbang bersifat langsung dan positif.
Zaman pencerahan menyebabkan beberapa “penyakit” pada masyarakat. Oleh karena itu Comte menginginkan adanya perubahan atau reformasi sosial untuk memperbaiki “penyakit” yang diakibatkan oleh Revolusi Perancis dan Pencerahan itu. Comte hanya menginginkan evolusi alamiah di masyarakat.
Hingga akhirnya tercipta teori evolusi yang dikemukakan Comte atau yang biasa disebut hukum tiga tahap yaitu:
a.       Tahap teologis
Dimulai sebelum tahun 1300 dan menjadi ciri dunia. Tahap ini meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini dikendalikan oleh kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para dewa, roh atau tuhan. Pemikiran ini menjadi dasar yang mutlak untuk menjelaskan segala fenomena yang terjadi di sekitar manusia, sehingga terkesan irasional. Dalam tahap teologis ini terdapat tiga kepercayaan yang dianut masyarakat. Yang pertama fetisysme dan dinamise, menganggap alam semesta ini mempunyai jiwa. Contohnya, bergemuruhnya guntur disebabkan raksasa yang sedang berperang dan lain-lain. Kemudian ada animisme yang mempercayai dunia sebagai kediaman roh-roh atau bangsa halus. Yang kedua politeisme, sedikit lebih maju dari pada kepercayaan sebelumnya. Politeisme mengelompokkan semua dan kejadian alam berdasarkan kesamaan-kesamaan diantara mereka. Sehingga politeisme menyederhanakan alam semesta yang beranekaragam. Contoh dari politeisme, dulu disetiap sawah di desa berbeda mempunyai dewa yang berbeda. Politeisme menganggap setiap sawah dimanapun tempatnya mempunyai dewa yang sama, orang jawa mengatakan dewa padi yaitu yaitu dewi sri. Yang terakhir, monoteisme yaitu kepercayaan yang menganggap hanya ada satu tuhan.
b.      Tahap metafisik
Pada tahap ini manusia mengalami pergeseran cara berpikir. Tahap teologis, semua fenomena yang terjadi disekitar manusia sebagai akibat dari kehendak roh, dewa atau tuhan. Namun pada tahap ini, muncul konsep-konsep abstrak atau kekuatan abstrak  selain tuhan seperti “alam”. Tahap ini terjadi antara tahun 1300 sampai 1800.
c.       Tahap positivisme
Pada tahap ini semua gejala alam atau fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan peninjauan, pengujian dan dapat dibuktikan secara empiris. Lembaga agama yang dulunya mengatur segalanya pada tahap ini harus menyerahkan hegemoninya kepada lembaga-lembaga lainnya sehingga muncullah lembaga-lembaga lainnya. Selainnya itu muncul sekulerisme atau pemisahan dibidang agama dengan bidang yang lain. Tahap ini menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dan segala sesuatu menjadi lebih rasional, sehingga tercipta dunia yang lebih baik karena orang cenderung berhenti melakukan pencarian sebab mutlak (tuhan atau alam) dan lebih berkonsentrasi pada penelitian terhadap dunia sosial dan fisik dalam upayanya menemukan hukum yang mengaturnya (Teori Sosiologi, George Ritzer & Douglas J. Goodman Halaman 17).

Dinamika Proses Evolusi Akal-Budi
Tidak semua perkembangan pikiran berlangsung cepat dan lancar. Proses perkembangan akal-budi ada yang berlangsung cepat ada pula yang lambat. Perkembangan berlangsung cepat apabila dibidang itu cenderung lebih sederhana dan bersifat universal. Contohnya saja matematika yang merupakan pengetahuan paling sederhana dan bersifat universal. Oleh karena itu pengetahuan itu berkembang pesat. Berbeda halnya dengan bidang ilmu pengetahuan lain yang rumit dan bersifat fenomin. Contohnya pengetahuan yang mengkaji mengenai kematian, kelahiran, cuaca, bencana dan sebagainya, yang sulit dijelaskan pada zaman teologi dan metafisik karena cara berpikir masyarakat yang masih berpusat pada tuhan ata dewa. Pengetahuan ini membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa diakui di masyarakat. Dalam buku realitas sosial dijelaskan bahwa inti ajaran Comte yaitu sejarah pokoknya adalah proses perkembangan bertahap dari cara manusia berfikir dan proses ini bersifat mutlak, universal, dan tak terelakkan. Teori evolusi Comte tidak menganut determinisme yang radikal walaupun ia berpendapat bahwa proses evolusi akal budi serta pemantulannya oleh masyarakat berjalan terus dan pasti mencapai tujuannya, namun menurut dia manusia masih juga memainkan peranan bebas. Oleh peranan manusia dapat mempercepat atau memperlambat datangnya zaman baru. Selain itu, manusia dapat mengadakkan variasi tiga faktor yang disebut berpengaruh atas adanya variasi yaitu suku bangsa, iklim dan strategi. Namun demikian semakin manusia menyadari bahwa hukum evolusi bersifat pasti, dan mendukungnya , semakin cepat masyarakat baru akan terwujud.
Masyarakat Positivis adalah Masyarakat Industri
Masyarakat bukanlah benda mati, masyarakat akan selalu berkembang dan bergerak menjadi semakin maju. Masyarakat yang tidak puas atas zaman teologis dan metafisik akan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang segala fenomena yang terjadi disekitar mereka. Dengan melakukan percobaan, serta menguji fenomena maka akan muncul jawaban yang ilmiah dan menggantikan jawaban mutlak seperti “kuasa tuhan” atau “nasib”.  Seperti yang dikatakan Comte, zaman positivisme akan menggantikan teologis dan metafisik serta menjadikan dunia ini menjadi lebih baik karena mendasarkan segala sesuatu dengan hal-hal yang ilmiah dan rasional.
Zaman berburu dan meramu, maupun sistem produksi tradisional berganti menjadi zaman modern dengan ditemukannya mesin-mesin yang mempermudahkan pekerjaan manusia. Dari positivisme lahirlah masyarakat industri karena pengetahuan semakin berkembang. Berubahnya masyarakat menjadi masyarakat industri mempengaruhi antagonisme kelas dan kemiskinan kaum buruh karena sistem ekonomi yang berkembang yaitu sistem ekonomi liberal. Comte membenarkan hal milik perseorangan atas sarana-sarana produksi, juga hak untuk mengumpulkan kekayaan besar. Menurut dia, antagonisme kelas dan kemiskinan kaum buruh hanyalah efek samping dari sistem ekonomi liberal. Namun, bukan berarti Comte menyetujui persaingan liar yang tak terkendali , dan kebebasan mutlak di bidang ekonomi. Karl Marx tidak setuju dengan sistem ekonomi liberal. Menurut dia, terjadinya antagonisme kelas dan kemiskinan merupakan hal yang kronis dan harus segera diperbaiki.
Comte berpendapat tentang etika sosial yang merupakan sarana terbaik utuk mengatasi masalah ini. Mengembangkan kesadaran moral merupakan hal yang penting untuk menciptakan kolektivisme. Apabila kesadaran kolektivisme sudah dimiliki oleh masyarakat, maka kestabilan ekonomi akan terjadi dan mengurangi antagonisme kelas serta kemiskinan.
Statika dan Dinamika Sosial
Statika sosial yang dimaksud yaitu semua unsur struktural yang melandasi dan menunjang orde, tertib, dan kestabilan masyarakat. Antara lain disebut: sistem perundangan, struktur organisasi, dan nilai-nilai seperti keyakinan , kaidah, dan kewajiban yang semuanya memberi bentuk yang kongkret dan mantap pada kehidupan bersama. Statika sosial itu disepakati oleh anggota yang disebut volonte general (kemauan umum). Mereka mengungkapkan hasrat kodrati manusia akan persatuan , perdamaian, dan kestabilan. Tanpa unsur-unsur struktural ini kehidupan bersama tidak dapat berjalan.
Dinamika sosial yang dimaksud yaitu semua proses pergolakan yang menuju perubahan sosial. Dinamika sosial merupakan daya gerak sejarah yang pada setiap tahap evolusi mendorong kearah tercapainya keseimbangann baru yang setara dengan kondisi dan keadaan zaman. Pada abad ke 18 dinamika sosial yang paling menonjol dalam perjuangan dan usaha untuk mengganti gagasan-gagasan agama yang lama dengan konsep-konsep positif dan ilmiah yang baru.
Pada tahap teologi masyarakat dihayati sebagai kehendak dewa. Pemerintahnya berstruktur feodal atau parternalistis. Ekonominya bercorak “militaristis”artinya bahwa orang tidak memproduksi barang kebutuhan mereka tetapi memetik atau meramu hasil bumi. Tahap metafisika mengakibatkan kemunduran agama, terlihat dari adanya revolusi dan perombakan atas kehidupan bersama yang tradisional. Tahap positifisme membangun kembali suatu orde yang kokoh-kuat dimana peranan agama dan filsafat diambil alih oleh ilmu pengetahuan positif yang tangguh dan universal.
Comte telah menyaksikan krisis sosial yang hebat, disebabkan oleh benturan antara masyarakat tradisi dengan masyarakat industri baru. Kendati demikian ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjadi tertib kembali kalau suatu kesepakatan tentang nilai-nilai baru akan tercapai.
Comte sebagai pembaru agama
Perang yang terus-menerus dan individualism yang berlarut di zaman post-revolusi di negeri Perancis mencemaskan Comte. Semakin ia tua, semakin ia menyadari bahwa tingkah laku manusia tidak berpangkal pada akal-budi, melainkan berasal dari hatinya. Dengan “hati” dimaksudkan “perasaan dan kemauan”. Kedua unsur ini memainkan peranan yang menentukan bagi perilaku dan sikap seseorang. Menurut hematnya, pendidikan elektualistis terus-menerus dan bertujuan menambah pengetahuan saja, tanpa adanya cintakasih dan motivasi, menghasilkan intelektualisme kering dan rasionalisme mandul. Memang benar bahwa akal –budi bertindak sebagai penuntun dan juru penerangan dalam perjalanan hidup. Tetapi, betapa penting dan perlu juga fungsi ini, akal-budi manusia yang tidak menduduki tempat tertinggi. Hati adalah daya manusia yang paling luhur. Dengan mengingat bahwa wanita mempunyai perasaan yang paling halus, maka Comte mengagumi dan mengagungkan mereka.
Comte sangat dikesankan oleh abad pertengahan. Bukan tahap evolusi akal-budi di zaman itu mengesankan dia, tetapi pengintegrasian yang ditonjolkan antara nilai-nilai rohani dengan nilai-nilai duniawi. Misalnya, lembaga keluarga tidak semata-mata dianggap sebagai sumber sekuler saja, tetapi dianggap suci dan sacral juga. Terdorong oleh keyakinannya bahwa hati manusia merupakan daya yang terutama, ia melucuti angkatan bersenjata dari cita sakralnya, dan sebagai gantinya ia memberi status sacral kepada kaum wanita. Ia meningkatkan status sosial mereka dan meluhurkan perana merekan dalam rumah- tangga. Ia menentang perceraian, ibu Yesus dihormatinya. Melalui hormat kepada Bunda Maria ia menyatakan hormatnya kepada semua ibu. Pada saat menjelang wafatnya para hadirin mendengar dia berbisik “Ibu dari AnakMu”.
Comte menarik kesimpulan, bahwa pengintegrasian kembali masyarakat atas dasar prinsip-prinsip positivisme hanya mungkin dilaksanakan melalui agama gaya baru, yaitu agama sekuler dengan lambangnya, upacaranya, hari-hari raya, dan orang “Kudus”-nya. Hanya agama yang akan mampu menyemangati baik akal-budi maupun perasaan dan kemauan. Oleh karena itulah, Comte dalam masa tuanya mendirikan agama baru itu. Yang disembah sebagai Yang Mahatinggi bukan Allah, melainkan humanitas atau manusia. kita harus mencintai humanitas. Dengan humanitas tidak dimaksudkan semua orang, termasuk yang tidak becus dan jahat. Melainkan orang-orang terbaik yang pernah dihasilkan sejarah dan masih hidup melalui karya dan pengaruh mereka. Kita harus mencintai kemanusiaan mereka yang abadi. Menurut Comte cinta inilah yang akan memulihkan keseimbangan dan pengintegrasian baik dalam diri individu maupun dalam masyarakat. Cinta ini akan melahirkan pemerintahan sipil, menjinakkan, dan mengendalikan tiap-tiap kekuasaan dunawi. Kata Marvin, “masyarakat yang sedemikian rupa diatur, hingga prinsip-prinsip sosial memainkan peranan paling penting, merupakan suatu sosiokrasi. Itulah sumbangan istimewa Comte kepada dunia”. (Marvin, F.S., 1936: 195-196).













EMILE DURKHEIM 1

Biografi Singkat Karir Intelektual Emile Durkheim
            Emile Durkheim lahir tahun 1858 di Epinal, suatu perkampungan kecil orang Yahudi di Bagian timur Prancis yang agak terpencil dari masyarakat luas. Masalah-masalah dasar tentang moralitas dan usaha meningkatkan moralitas masyarakat merupakan perhatian pokok selama hidupnya. Pada usia 21 tahun, Durkheim diterima di Ecole Normale Superieure. Dua kali sebelumnya dia gagal dalam ujian masuk yang sangat kompetitif, walaupun sebelumnya dia sangat cemerlang dalam studinya. Di masa mudanya, Durkheim menginginkan satu dasar yang lebih teliti dalam ilmu yang dia rasa dapat membantu memberikan satu landasan bagi rekonstruksi moral masyarakat. Sesudah menamatkan pendidikannya, Durkheim mulai mengajar. Selama lima tahun ia mengajar dalam satu sekolah menengah atas (lycees) di daerah Paris.
            Sejak awal karir mengajarnya, Durkheim bertekad untuk menekankan pengajaran praktis ilmiah serta moral daripada pendekatan filsafat tradisional yang menurut dia tidak relevan dengan masalah sosial dan moral yang gawat yang sedang melanda Republik ketiga itu.
1. Melembagakan Sosiologi sebagai Satu Disiplin Akademis
            Pada tahun 1887, ketika Durkheim berusia 29 tahun, pemberian kuliahnya dan beberapa artikel yang ditulisnya membuat dia menjadi seorang ahli ilmu sosial muda yang terpandang. Untuk itu, dia dihargai dengan pengangkatannya di fakultas pendidikan dan fakultas ilmu sosial di Universitas Bordeaux. Tahun 1896 Durkheim diangkat menjadi professor penuh dalam ilmu sosial. Kemudian tahun 1899 Durkheim ditarik ke Sorbonne, dan dia dipromosikan sebagai professor penuh dalam ilm u pendidikan pada tahun 1906. Pada tahun 1913 kedudukan Durkheim diubah ke ilmu pendidikan dan sosiologi. Akhirnya, secara resmi didirikan dalam lembaga pendidikan yang sangat terhormat di Prancis. Tahun 1917, pada usia 59 tahun Durkheim meninggal, sesudah menerima penghormatan dari orang-orang semasanya untuk karirnya yang produktif dan bermakna, serta setelah ia mendirikan dasar sosiologi ilmiah.
2. Pengaruh Sosial dan Intelektual terhadap Durkheim
Perhatian Durkheim sepanjang hidupnya terhadap solidaritas dan integrasi sosial muncul antara lain karena keadaan keteraturan sosial yang goyah di masa Republik Ketiga selagi dia masih muda. Durkheim lebih tertarik untuk berusaha memahami dasar-dasar munculnya keteraturan sosial yang baru. Dia melihat kesulitan-kesulitan selama periode peralihan dimana dia hidup, tetapi dia juga optimistis bahwa pengetahuan ilmiah tentang hukum masyarakat dapat menyumbang terkonsolidasinya dasar moral keteraturan sosial yang sedang muncul itu.
Perhatian Durkheim terhadap moralitas umum terjadi bersamaan dengan masa peralihan dalam sistem pendidikan di Prancis. Durkheim memandang pengajaran moralitas umum bagi warga di masa mendatang dalam tahun-tahun pembentukannya merupakan hal yang sangat penting untuk memperkuat dasar-dasar masyarakat dan meningkatkan integrasi serta solidaritas sosialnya.

3. Pertentangan dengan Individualisme Spencer
Seperti Comte dan Durkheim, Spencer tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern. Namun pandangan Spencer mengenai masyarakat yang bersifat organis berbeda dengan pandangan dari Comte dan Durkheim. Bagi Spencer, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal.
Perbedaan yang penting antara Spencer dengan Comte dan Durkheim adalah pandangan Spencer mengenai kenyataan sosial yang bersifat individualistis. Namun Spencer berusaha mendamaikan kedua pandangan ini dengan mengemukakan perbedaan-perbedaan pokok antara “organisme” biologis dan sosial. Tidak seperti satu organisme biologis, suatu masyarakat tidak mempunyai kulit penutup dan tidak mempunyai sumber inteligensi yang senttral atau sumber kontrol yang analogis dengan otak. Sebaliknya, pelbagai “bagian” dari masyarakat tersebar, dan masing-masing bagian itu memiliki inteligensi dan kontrol dirinya sendiri. Masyarakat tidak terlepas dari individu-individu yang merupakan “bagian-bagian”nya. Masyarakat ada sebagai hasil dari persetujuan kontraktual dimana individu saling berembuk untuk mengejar kepentingan pribadinya.
Gambaran Spencer mengenai masyarakat yang ideal atau yang paling maju adalah masyarakat dimana individu memiliki kebebasan sebesar-besarnya untuk mengejar kepentingannya dan meningkatkan kebahagiaan tanpa diarahkan atau dikontrol oleh otoritas pusat manapun.
Pandangan Spencer mengenai peranan yang tepat dari pemerintah berbeda dengan pandangan Comte dan Durkheim. Gagasan Comte mengenai masyarakat positivis yang ideal di masa depan adalah masyarakat dimana pemimpin-pemimpin yang senantiasa mendapat penerangan sosiologis akan memberikan kontrol yang kuat dalam mengatur pelbagai segi kehidupan sosial untuk memastikan bahwa hukum-hukum dasar yang mengendalikan keteraturan sosial dan kemajuan itu dipertahankan. Pandangan Durkheim kurang muluk, tetapi dia jugga melihat pemerintah sebagai pelindung dasar-dasar moral masyarakat.
Gambaran Spencer yang bersifat individualistik tentang kenyataan sosial sangaty berbeda dengan tekanan Durkheim bahwa fakta sosial mengatasi individu. Spencer mengasumsikan bahwa masyrakat merupakan hasil dari persetujuan kontraktual antara individu-individu yang bersepakat untuk mengejar kepentingan individunya.

B. Pengertian, Tipe, dan Karakteristik Fakta Sosial
a. Pengertian Fakta Sosial
Untuk memisahkan sosiologi dari filsafat dan memberinya kejelasan serta identitas tersediri, Durkheim (1895/1982/ menyatakan bahwa pokok bahasan sosiologi haruslah berupa studi atau fakta sosial. Secara singkat, fakta sosial terdiri dari struktur sosial, norma budaya, dan nilai yang berada di luar dan memaksa sktor.
Durkheim (1895/1982: 13), menyatakan bahwa “fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual.”
Kutipan ini menjelaskan bahwa Durkheim memberikan dua definisi untuk fakta sosial agar sosiologi bisa dibedakan dari psikologi. Pertama, fakta sosial adalah pengalaman sebagai sebuah paksaan eksternal dan bukannya dorongan internal. Kedua, fakta sosial umum meliputi seluruh masyarakat dan tidak terikat pada individu partikular apapun.
Durkheim berpendapat bahwa fakta sosial tidak bisa direduksi kepada individu, namun esti dipelajari sebagai realitas mereka. Durkheim menyebut fakta sosial dengan istilah Latin sui generis, yang berarti “unik”
Durkheim sendiri memberikan beberapa contoh tentang fakta sosial, termasuk aturan legal, beban moral, dan kesepakatan sosial. Dia juga memasukkan bahasa sebagai fakta sosial dan menjadikannya sebagai contoh yang paling mudah dipahami, karena bahasa adalah sesuatu yang mesti dipelajari secara empiris, bahasa adalah sesuatu yang berada di luar individu, bahasa memaksa individu, dan perubahan dalam bahasa hanya bisa dipelajari melalui fakta sosial lain tidak bisa hanya dengan keinginan individu saja.
b. Tipe-tipe Fakta Sosial
Fakta Sosial Material dan Nonmaterial
Durkheim membedakan dua tipe ranah fakta sosial, yaitu material dan nonmaterial. Fakta sosial material, seperti gaya arsitektur, bentuk teknologi, dan hukum dan perundang-undangan, relatif mudah dipahami karena keduanya bisa diamati secara langsung. Fakta sosial material seringkali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuat yang sama-sama berada di luar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial nonmaterial.
Studi Durkheim yang paling penting, dan inti dari sosiologinya, terletak dalam studi fakta sosial nonmaterial ini. Durkheim mengungkapkan: “Tidak semua kesadaran sosial mencapai .... eksternalisasi dan materialisasi” (1897/1951:315). Apa yang saat ini disebut norma dan nilai, atau budaya oleh sosiolog secara umum (Alexander,1988c) adalah contoh yang tepat untuk fakta sosial nonmaterial.
Jenis-jenis Fakta Sosial Nonmaterial
1. Moralitas
Perspektif Durkheim tentang moralitas terdiri dari dua aspek. Pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada di luar individu, ia memaksa individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Artinya, moralitas bukanlah sesuatu yang bisa dipikirkan secara filosofis, namun sesuatu yang mesti dipelajari sebagai fenomena empiris. Kedua, Durkheim dianggap sebagai sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya kepada “kesehatan” moral masyarakat modern.

2. Kesadaran Kolektif
Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut; “seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular”.
Ada beberapa hal yang patut dicatat dari definisi ini. Pertama, kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut “keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama. Kedua, Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai sesuatu terlepas dari dan mampu menciptakan fakta sosial yang lain. Kesadaran kolektif bukan hanya sekedar cerminan dari basis material sebagaimana yang dikemukakan Marx. Ketiga, kesadaran kolektif baru bisa “terwujud” melalui kesadaran-kesadaran individual.
Kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma, dan kepercayaan bersama. Oleh karena itu dia adlah konsep yang sangat terbuka dan tidak tetap. Durkheim menggunakan konsep ini untuk menyatakan bahwa masyarakat “primitif” memiliki kesadaran kolektif yang kuat, yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama , lebih dari masyarakat modern.
3. Representasi Kolektif
Contoh representasi kolektif adalah simbol agama, mitos, dan legenda populer. Semuanya mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai kolektif, dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif.
Representasi kolektif juga tidak bisa direduksi kepada individu-individu, karena ia muncul dari interaksi sosial, dan hanya bisa dipelajari secara langsung karena cenderung berhubungan dengan simbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar atau berhubungan dengan praktik seperti ritual.
4. Arus Sosial
Menurut Durkheim, arus sosial merupakan fakta sosial yang tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas. Durkheim mencontohkan dengan “dengan luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan” yang terbentuk dalam kumpulan publik
5. Pikiran Kelompok
Durkheim menyatakan bahwa pikiran kolektif sebenarnya adalah kumpulan pikiran individu. Akan tetapi pikiran individual tidak secara mekanis saling bersinggungan dan tertutup satu sama lain. Pikiran-pikiran individual terus-menerus berinteraksi melalui pertukaran simbol: mereka megelompokkan diri berdasarkan hubungan alami mereka, mereka menyusun dan mengatur diri mereka sendiri. Dalam hal ini terbentuklah suatu hal baru yang murni bersifat psikologis, hal yang tak ada bandingannya di dunia biasa.
Fakta Sosial lawan Fakta Individu
Durkheim bertahan pada pendiriannya bahwa fakta sosial itu tidak dapat di reduksikan ke fakta individu, melainkan memiliki eksistensi yang independen pada tingkat sosial. Durkheim dalam melihat gejala sosial, baik dalam satu kelompok kecil atau dalam masyarakat keseluruhannya, akan mempertahankan bahwa keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya. Meskipun karakteristik kelompok mungkin lebih daripada jumlah individu yang meliputi kelompok tersebut, kelompok tidak dapat ad secara terpisah dari anggota-anggota individualnya. 
c. Karakteristik Fakta Sosial
Durkheim mengemukakan dengan tegas tiga karakteristik yang berbeda, yaitu :
1. Gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu.
Hampir setiap orang telah mengalami hidup dalam satu situasi sosial baru, mungkin sebagai anggota baru dari satu organisasi, dan merasakan dengan jelas bahwa ada kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma yang sedan di amati yang tidak ditangkap atau dimengertinya secara penuh. Dalam situasi serupa itu, kebiasaan dan norma ini jelas dilihat sebagai sesuatu yang eksternal.
2. Fakta itu memaksa individu.
Jelas bagi Durkheim bahwa individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh berbagai ftipe fakta sosia dalam lingkungan sosialnya. Seperti yang ia katakana bahwa tipe-tipe perilaku atau berfikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauannya sendiri.
3. Fakta itu bersifat umum.
            Fakta tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain fakta sosial itu merupakan milik bersama, bukan sifat individu perorangan. Fakta sosial ini benar-benar bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini.
C. Strategi Untuk Menjelaskan Fakta Sosial
            Salah satu prinsip metodologi dasar yang ditekankan Durkhem adalah bahwa fakta sosial harus dijelaskan dalm hubungannya dengan fakta sosial lainnya. Kemungkinan lain yang paling besar untuk menelaskan fakta sosial adalah menghubungkannya dengan gejala individu seperti yang dikemukakan oleh ahli-ahli ekonomi klasik dan oleh Spencer. Prinsip dasar yang kedua adalah bahwa asal usul suatu gejala sosial dan fungsi-fungsinya merupakan dua masalah yang terpisah.
Sesudah menentukan bahwa penjelasan tentang fakta sosial itu harus dicari di dalam fakta sosial lainnya, Durkheim memberikan strategi tentang perbandingan terkendali sebagai metode yang paling cocok untuk mengembangkan penjelasan kausal dalam sosiologi. Metode perbandingan Durkhem lebih ketat dan terbatas. Pada intinya, metode perbandingan terkaendali itu meliputi klasifikasi silang dari fakta sosial tertentu untuk menentukan sejauh mana mereka berhubungan. Kalau korelasi antara dua himpunan fakta sosial dapat ditunjukkan sebagai valid dalam berbagai macam keadaan, hal ini member satu petunjuk penting bahwa dua tipe fakta itu mungkin berhubungan secara kausal. Artinya, variasi dalam nilai dari satu tipe variable mungkin merupakan sebab dari variasi dalam nilai variable kedua.
D. Fakta Sosial dan Implikasinya Terhadap Analisis Sosiologis


EMILE DURKHEIM 2

A.    Penerapan Pembagian Kerja Masyarakat dalam implikasinya Pada Integrasi dan Solidaritas.
Durkheim hidup dimasa industrialisasi, dimana pembagian kerja meningkat secara pesat. Peningkatan ini terjadi baik didalam bidang ekonomi, politik, administratif, hukum, bahkan didalam ilmu pengetahuan. Dan ini tampak didaerah-daerah perkotaan yang dengan jelas memperlihatkan peningkatan kompleksitas dan spesialisasi pekerjaan. Sedemikian besarnya peningkatan pembagian pekerjaan ini hingga kaitannya dengan tatanan sosial tidak dapat diabaikan begitu saja. Dengan hubungan yang kuat diantara pembagian kerja dengan solidaritas sosial, Durkheim berpandangan bahwa struktur pembagian kerja disuatu masyarakat akan memebentuk corak solidaritas sosial yang khas dari masyarakat itu.
Menurut Durkheim, perbedaan-perbedaan mendasar diantara masyarakat dengan tingkat pembagian kerja rendah dan masyarakat dengan tingkat pembagian kerja tinggi yaitu:
1.      Anggota-anggota masyarakat dengan tingkat pembagian kerja yang rendah terikat satu sama lain atas dasar kesamaan emosional dan kepercayaan, serta adanya komitmen moral. Ikatan ini disebut sebagai solidaritas mekanik.
2.      Berkaitan dengan hal ini, solidaritas sosial dimasyarakat dengan tingkat pembagian kerja yang rendah dilandaskan pada kesadaran kolektif yang kuat.
3.      Sementara dimasyarakat yang memiliki pembagian kerja yang tinggi, homogenitas tak lagi menjadi prinsip untuk mempertahankan kesatuan masyarakat.

Solidaritas mekanik
Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama, yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada masyarakat yang sama. Solidaritas ini merupakan bentuk yang tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut pemikiran normatif yang sama pula. Menurut Durkheim, indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat menekan atau repressive.
Maksud dari hukum ini adalah apabila terdapat suatu kesalahan yang dilakukan oleh anggotanya, maka kesalahan tersebut dianggap sebagai perbuatan jahat dan sanksi yang dapat diterima tidak bersifat rasional dan kemarahan kolektif dari anggota lainnya. Ciri khas lain dari solidaritas mekanik adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya. Homogenitas tersebut hanya memungkinkan adanya pembagian kerja yang sangat minim. Berikut ini contoh dari solidaritas mekanik:
Sebagian besar sekte yang bebas di masyarakat Amerika memperlihatkan variasi yang tinggi terhadap toleransi akan perbedaan dalam kepercayaan, namun disisi lain di wilayah gereja-gereja konservatif yang lebih bersifat picik dalam mengharapkan adanya kesesuaian yang mutlak terhadap doktrin-doktrin resmi dan kekuatan integrasinya pun tinggi. Meskipun ada perbedaan-perbedaan tingkatan terhadap satu orientasi agama merupakan dasar pokok dari terbentuknya integrasi sosial dan ikatan yang mempersatukan individu dalam organisasi itu.
Solidaritas organik
Solidaritas organik muncul karena adanya pembagian kerja yang bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi, ketergantungan ini bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggairahkan bertambahnya perbedaan dikalangan individu. Durkheim mempertahankan bahwa kuatnya solidaritas organik ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan atau restitutive yakni yang berfungsi mempertahankan dan melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok dalm masyarakat. Oleh karena itu, hukum ini bukan bersifat balas dendam dan bersifat rasional bukan berdasarkan kemarahan dari anggota kelompok yang lain terhadap penyimpang. Berikut ini contoh dari solidaritas organik:
Dalam suatu perusahaan dagang, terdapat sesuatu yang dapat mempersatukan mereka. Besar kemungkinan karena faktor ekonomi ataupun gaji yang diterima oleh masing-masing anggota. Akan tetapi, didalam suatu organisasi tersebut mungkin memperlihatkan saling ketergantungan yang penting antara anggota yang saling berpartisipasi terhadap perusahaan dagang tersebut. Jadi dalm suatu perusahaan dagang yang mungkin terdiri dari manager, pegawai, teknisi, pelayan, dan sebagainya. Dengan adnya spesialisasi atau pembagian kerja sesuai dengan kemampuan anggota akan saling tergantung membentuk suatu sistem untuk membentuk solidaritas secara menyeluruh yang berfungsi dan didasarkan oleh ketergantungan antara anggota satu dengan lainnya.

Perbedaan antara solidaritas mekanik dan organik

Solidaritas mekanik
Solidaritas organik
Pembagian kerja rendah
Pembagian kerja tinggi
Kesadaran kolektif kuat
Kesadaran kolektif rendah
Hukum represif dominan
Hukum restitutif dominan
Individualitas rendah
Individualitas tinggi
Konsesus terhadap pola-pola normatif penting
Konsensus pada nilai abstrak dan umum penting
Keterlibatan komunitas dalam menghukum yang menyimpang
Badan-badan kontrol sosial yang menghukum penyimpang
Ketergantungan rendah dan bersifat primitif atau pedesaan
Saling ketergantungan tinggi dan bersifat industrial perkotaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar